Senin, 27 Juni 2011

KEBEBASAN: MERDEKA DAN MENEMBUS TRADISI

Hariyono Usman
Mahasiswa FKIP Universitas Haluoleo Sultra,
E-mail: hariyonousman@yahoo.co.id
Alamat: Jl. Bangau No. 24 D

Abstrak: Tema kebebasan melanda ketiga drama tersebut, drama “Bulan Muda Yang Terbenam” karya La Ode Balawa, drama “Bunga Rumah Makan” karya Utuy T. Sontani, dan drama “Dilarang Kawin” karya Iwan Djibran. Gaya pencitraan tema kebebasan dalam drama-drama ini mempunyai jalan-jalan tersendiri dan dalam konteks yang berbeda pula.Berbeda dengan drama “Bunga Rumah Makan” yang sedikit memaparkan tentang kebebasan, drama “Bulan Muda Yang Terbenam” dan drama “Dilarang Kawin” menyajikan makna kebebasan secara tersirat dalam dialog-dialog para tokoh di dalamnya. Dengan gaya bahasa, perumitan tema, dan latar permasalahan membuat makna kebebasan dalam drama-drama ini semakin beragam.
Kata kunci: Kebebasan, tema, tradisi, drama, kajian

  Pendahuluan
Sastra adalah institusi sosial yang menggunakan medium bahasa (Wellek & Warren dalam Najid, 2003:9). Karya sastra adalah hasil seni kreatif yang membicarakan manusia dan kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Wellek dan Waren (1990:3) yang mengatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif  karya seni. Sebagai karya seni kreatif yang membicarakan manusia dengan segala kehidupannya, karya sastra tidak hanya sebagai media untuk mengungkapkan gagasan tetapi juga media untuk mengungkapkan makna-makna sosial dan budaya. Dengan kata lain, suatu karya sastra tercipta tidak dalam kekosongan sosial dan budaya. Artinya, pengarang tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius, kemudian dengan elegannya mencipta suatu karya sastra. Suatu karya sastra tercipta lebih merupakan hasil pengalaman, pemikiran, refleksi, dan rekaman budaya/sosial pengarang terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya sendiri dan masyarakat. Karya sastra, seperti diakui banyak orang, merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu yang serba “rutinitas” dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan kreativitas imajinasinya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi “terbata-bata” untuk berkomunikasi dengannya. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori untuk mengkaji karya sastra, termasuk karya sastra dalam bentuk drama.

Drama termasuk salah satu genre sastra di samping novel, puisi, dan cerpen. Lebih. jauh Wellek dan Warren mengatakan sejak jaman Aristoteles drama telah dinyatakan sebagai salah satu genre sastra di samping epik dan lirik. Drama juga sering disebut atau diidentikkan dengan sandiwara atau teater. Drama, yang dalam hal ini adalah salah satu genre dari karya sastra, juga merupakan refleksi pemikiran menyangkut masalah sosial dan budaya dari pengarang yang dikemas dengan artistik dan langsung melalui lakon dari para tokoh pemeran. Drama yang sebenarnya adalah faktor sosial apa yang menjadikan drama tersebut dibuat. Dengan katalain, tema yang bagaimana yang ingin disampaikan pengarang dalam drama tersebut. Apabila menyebut istilah drama, maka kita berhadapan dengan dua kemungkinan, yaitu drama naskah dan drama pentas. Keduanya bersumber pada drama naskah. Pembicaraan tentang drama naskah merupakan dasar dari telaah drama.

Karya sastra dalam hal ini drama, juga mempunyai apa yang disebut dengan tema. Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra (Sudjiman, 1988:50). Mempertanyakan makna sebuah karya, sebenarnya juga berarti mempertanyakan tema (Nurgyantoro, 2002: 66). Setiap karya sastra tentu mengandung makna. Tetapi isi tema itu sendiri tidak mudah ditunjukkan.tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini, penulis akan menganalisis drama naskah, yakni analisis tema pada tiga drama nasional: Bunga Rumah Makan karya Utuy T. Sontani, Dilarang Kawin karya Iwan Djibran, dan Bulan Muda Yang Terbenam karya La Ode Balawa. Ketiga drama nasional ini menarik untuk dikaji dalam segi tema. Ini dikarenakan isi yang menjadi landasan terciptanya drama-drama ini mempunyai korelasi yang cukup erat, sehingga di dalam pembahasan nanti akan dikupas megenai isi tema dan korelasinya dengan isi tema pada ketiga drama tersebut..

Pembahasan
Kebebasan: Merdeka dan Menembus Tradisi
Secara umum, tema yang disajikan dalam ketiga drama ini yakni, Bunga Rumah Makan karya Utuy T. Sontani, Dilarang Kawin karya Iwan Djibran, dan Bulan Muda Yang Terbenam karya La Ode Balawa adalah tema yang berbicara tentang kebebasan. Berbicara tentang kebebasan dapat dipahami menurut Tocqueville dalam Raymond (1993: 7) sebagai penggunaan hak bersama atau penikmatan hak istimewa. Ingin bebas dalam bertindak atau dalam melakukan beberapa hal, sama sekali bukan karena setiap manusia memiliki hak kemerdekaan yang umum, melainkan karena mereka sendiri memiliki hak perorangan untuk tetap merdeka. Manusia diciptakan oleh sang Penyelenggara tidak sepenuhnya bebas, tidak pula sama sekali terkungkung sebagai budak. Memang benar bahwa sang Penyelenggara menggariskan lingkaran pembatas di sekitar manusia dan manusia tidak dapat keluar dari lingkaran tersebut. Tetapi, dalam lingkaran pembatas yang luas itu, manusia berkuasa dan bebas. Demikian pula dalam drama Bunga Rumah Makan, tokoh Ani yang menjadi tokoh utama mengungkapkan tema kebebasan tersebut. Ani adalah seorang wanita cantik pelayan rumah makan “sembara” milik Sudarma sekaligus tokoh yang sedang terkungkung dalam sekotak dunia yang penuh kepalsuan. Ani adalah seorang terpenjara dan bebas setelah Iskandar muncul dan menyadarkannya bahwa sesunguhnya ia dalam keterkungkungan. Iskandar adalah seorang pemuda pelancong yang menganggap dirinya adalah orang merdeka.Suatu ketika Iskandar masuk ke rumah makan itu dan bertemu dengan Ani. Di dalam pertemuan itu, Iskandar dan Ani terlibat pertengkaran mulut. Mereka saling menghina satu sama lain. Di titik ini, Utuy T. Sontani menyelipkan pesannya mengenai makna kebebasan. Kebebasan yang sebenarnya drama ini muncul di akhir drama itu sendiri. Kebebasan yang dimiliki oleh Ani bukan kebebasan yang dimiliki oleh Iskandar yang terletak di tengah perjalanan drama ini.
Ani    :    (Tampil membawa koper).
Usman    :    Mau kemana, an?
Ani    :    Saya mau keluar dari sini.
Sudarma    :    Nanti dulu! Nanti dulu! Jangan tergesa-gesa begitu, an. Siapa yang menyuruh engkau keluar dari sini? Aku sayang kepadamu dan berjanji akan menaikkan gajimu, asal jangan pergi dari sini.
Ani    :    Tidak! Saya tak hendak diikat lagi. Saya mau hidup merdeka.

Sikap Ani pada kutipan dialog di atas dibangun atas banyak faktor sikap membelenggu terhadap dirinya oleh tokoh-tokoh yang lain seperti Sudarma, Usman, Suherman, dan Karnaen. Sudarma membelenggu Ani dengan larangannya untuk tetap bekerja selama mungkin di rumah makan itu. Usman membelenggu dengan perintahnya untuk segera menikah. Karnaen membelenggu dengan perasaan cintanya kepada Ani yang selalu berharap agar Ia juga mencintainya. Dan Suherman yang membelenggu Ani dengan janjinya untuk menikahinya yang tak kunjung terwujud.

Drama ini menyajikan makanan kebebasan kepada para pembaca untuk menafsirkan ke  arah kebebasan apakah yang dimaksud. Dengan perkataan lain, drama ini menyajikan makna kebebasan dalam arti yang luas terkecuali kebebasan korup menurut Marx dalam Raymond (1993: 11) yang lumrah digunakan binatang dan manusia, yang intinya berbuat sekehendak hati. Kebebasan seperti itu adalah musuh otoritas apapun, resah karena tidak sabar terhadap segala aturan: dengan kebebasan seperti itu kita menjadi lebih rendah dari pada diri kita sendiri; kebebasan seperti itu adalah musuh kebenaran dan perdamaian; dan Tuhan boleh jadi berpendapat menentangnya.

Tema kebebasan pada cabang lain, juga disajikan dalam drama Dilarang Kawin karya Iwan Djibran. Kebebasan yang disajikan pada drama ini lebih cenderung ke arti yang lebih sempit atau spesifik, yakni kebebasan dalam menembus suatu tradisi yang mengikat pada suatu wilayah tertentu. Drama Dilarang kawin menceritakan tentang kisah percintaan Drajat seorang peranakan pribumi dan Susi seorang gadis peranakan Cina. Namun, hubungan cinta mereka tidak semulus yang mereka harapkan. Banyak masalah-masalah yang mereka harus hadapi. Drajat sedikit pesimis atas hubungannya dengan tokoh Susi. Di sisi lain, tokoh Susi pun memberikan semangat kepada kekasihnya untuk tidak mengeluh atas masalah dalam hubungan mereka. Tokoh Susi masih optimis pada hubungan yang mereka yang jalani bersama tokoh Drajat. Ia yakin kesengsaraan yang mereka hadapi bersama merupakan jalan untuk meraih kebahagiaan. Dalam drama ini, Drajat dan Susi pun terbelenggu dalam tradisi yang mengikat mereka di daerah masing-masing. Berbeda pada tokoh Ani dalam drama Bunga Rumah Makan, Drajat dan Susi ingin memperjuangkan kebebasan tradisi itu. Dalam sebuah dialog terselip usaha kebebasan itu, Drajat berkata, "Ayah......, aku punya harapan selain cinta pada Susi Hong. Aku ingin menghapus jurang diskriminasi antara pribumi dan keturunan cina. Justru Ayah sebagai menteri harus menciptakan persatuan suku bangsa di negeri ini." Dialog ini diucapkan ketika Paksa, ayah dari Drajat yang tidak setuju kalau Drajat kawin dengan gadis cina. Paksa adalah seorang menteri negeri Pribumi itu, sehingga Ia lebih mementingkan Pribumi daripada Cina itu sendiri. Paksa mengatakan – Di negara ini yang berhak memiliki wilayah hanyalah Pribumi bukan bangsa Cina, selain itu hanya ayam ras – Wilayah Pribumi yang dimaksud dalam drama ini tidak lain adalah wilayah Indonesia sendiri. Jika melihat isi cerita drama ini mengingatkan kita kembali diskriminasi antara Pribumi dan Cina di era Soeharto, dimana diskrimansi ras dan rasial terjadi terhadap pribumi yang dilakukan oleh para WNI keturunan Cina juga terhadap keturunan China yang dilakukan oleh WNI keturunan pribumi pada semua aspek kehidupan. Sehingga drama ini mengungkapkan realisme sosial yang terjadi pada waktu itu melalui tokoh Drajat dan Susi untuk memperjuangkan kebebasan terhadap tradisi ras yang tak kunjung hilang.
Dalam dialog lain.

Papa: Orang dibikin seperti ayam ras. Dipelihara dengan baik untuk melancarkan ekonomi, lalu dijual dan dimakan untuk keperluan pribadi penguasa.
Susi: Papa....jangan sampai sejauh itu, ini hanya urusan cinta.
Papa : Tidak ada kata cinta untuk ayam ras dan penjualnya.

Dari dialog ini dapat diungkapkan bahwa diskriminasi ini sudah sangat melekat dalam pemikiran masing-masing pihak. Hal ini terlihat dalam dialog - tidak ada kata cinta untuk ayam ras dan penjualnya – bahwa yang dimaksud dengan ayam ras adalah keturunan cinta, sedangkan penjualnya aalah pribumi itu sendiri. Namun, dalam dialog lain memperlihatkan diskriminasi yang lebih parah.

Papa : Owe tidak mau punya keturunan pribumi. Owe tidak suka punya cucu maka pakai tangan.
Paksa : Aku tidak suka cucuku makan pakai sumpit.
Papa : Owe tidak suka punya cucu makan soto.
Paksa : Aku tidak suka cucuku makan bakpao.
Papa : Owe tidak suka punya cucu kulit coklat.
Paksa : Dan yang ini, paling aku tidak sukai! Aku tidak mau cucu bernata sipit!

Dalam dialog ini, memperlihatkan diskriminasi antara keturunan cina dengan pribumi secara lebih spesifik. Selain itu, dialog ini menunjukkan adanya keharusan orang cina maupun orang pribumi harus menikah dengan sesama pribumi atau sesama cina.

Kebebasan untuk menembus tradisi yang disajikan di dalam drama Dilarang Kawin, juga terlihat dalam drama Bulan Muda Yang Terbenam karya La Ode Balawa. Drama ini pun menceritakan tentang kisah percintaan antara Wani dan La Domai yang terhalang oleh adat di daerah mereka. Tema kebebasan yang diungkap La Ode Balawa memiliki kecenderungan ke arah kebebasan yang sama dengan Iwan Djibran, yakni menembus tradisi yang sangat mengungkung manusia yang hidup di dalamnya. Drama Bulan Muda Yang Terbenam mengangkat tradisi yang berada di salah satu propinsi di Indonesia, yakni propinsi Sulawesi Tenggara tepatnya di daerah Buton. Dalam drama disebut daerah Sangia atau Ciacia dan Sampolawa. Sebagian perkataan dalam dialog drama ini menggunakan bahasa daerah buton, sehingga semakin melokalkan makna kebebasan yang ada pada daerah tersebut. Drama ini juga menggunakan gaya bahasa yang lebih romantik dibandingkan pada drama Bunga Rumah Makan maupun Dilarang kawin. Kita kutip:
Nujum    : Tabea sawuta kita! (lalu mencabut keris pusaka, musik sacral mengiringi Nujum dalam kondisi trens). Nabhita naipua esok atau lusa bintang timur akan kehilangan titik cahayanya. Ini suatu pertanda, perahu-perahu pelaut tidak sanggup menghadapi amukan badai dari jiwa, hingga penderitaan merantau diri. Sedang tumbalnya, hanya mah...ko..ta!
Inangkali    : makna apa! Bencana apa! O, betapa mencekamnya. Soomba Waopu!
Juragan laut    : nujum! Putus kata adalah jiwa kebijakan. Lidah wujud pikirab. Ketetapan adalah wujud hati. Terangkanlah segala rahasia!
Nujum     : maapusau juragan? Alamat ini adalah kehendak takdir.
Amangkali    : aku merasa ragu Nujum!
Nujum     : Disanalah letak persoalannya, ama! Akal budi sering tak berdaya menghalau datangnya badai dari lautan jiwa. Sementara, hal-hal yang kodrati tetap abadi dalam kerahasiaannya.

Drama ini mengandung banyak gaya bahasa seperti alegori yang menjurus ke gaya bahasa hiperbola. Dengan penyajian yang menarik ini menambah dalam tema kebebasan yang dikandung drama ini. Selain itu, dialog ini menjadi pintu untuk memasuki tema kebebasan tersebut yang terlebih dahulu adanya keterkungkungan. Seorang Nujum atau biasa disebut dengan peramal meramalkan bahwa akan ada permasalahan yang besar menimpa keluarga Amangkali, ayah Wani. Hal ini mengaitkannya pada kebebasan yang melakukan pendobrakan pada penjara yang disebut dengan adat. Menurut Raymond (1993: 54) bahwa kata orang, hanya seorang individu yang dapat disebut bebas atau tidak bebas, karena kebebasan berarti kemampuan berpikir dan mengambil keputusan, dan hanya individu yang mampu melakukannya. Namun, apabila sekelompok manusia menuntut, atas nama rakyat yang ada sekarang atau di masa depan, hak untuk membentuk suatu bangsa dan satu negara, hak itu semacam kesatuan utuh kepada kolektivitas yang dapat dibandingkan dengan kesatuan pribadi. Dengan perkataan lain, dalam drama ini, baik La Domai dan Wani maupun Drajat dan Susi Hong mempunyai kemauan yang kuat untuk menuju ke arah kebebasan, tetapi sesungguhnya mereka berada dalam kesatuan kolektivitas masyarakat yang menganut suatu adat tradisi untuk menjadikan mereka suatu bangsa atau suku yang berbeda dengan bangsa atau suku yang lain. Sehingga mau tidak mau mereka akan terus berada dalam keterkungkungan adat bagi mereka yang merasa, termasuk tokoh-tokoh dalam drama ini.

Usaha untuk menuju ke arah kebebasan telah dilakukan La Domai dan Wani serta Drajat dan Susi dalam masing-masing dramanya. Bebagai rintangan telah mereka lewati untuk menembus tradisi mereka sehingga pertemuan pasangan kekasih ini menjadi bagian kecil dalam kebebasan yang besar dan dapat dirasakan oleh semua orang. Berbeda pada tema kebebasan pada drama Bunga Rumah Makan, dimana pertemuan Ani dengan Suherman kekasihnya membuat Ani tetap terbelenggu. Hal ini disebabkan karena janji Suherman kepada Ani tak kunjung ditepatinya dengan alasan tugas tentara. Suherman adalah seorang pemuda tentara yang selalu bertugas keluar kota sehingga tak dapat sering bertemu dengan Ani kekasihnya. Dengan perkataan lain, hanya satu pihak yang terkungkung dan konteksnya berbeda dengan kedua drama sebelumnya. Di sisi lain, drama Bulan Muda Yang Terbenam merumitkan tema kebebasan itu dengan paksaan yang ditimpakan oleh Wani. Wani dipaksa kawin oleh seorang lelaki bernama Lantale yang sudah lama Ia dijodohkan Amangkali ayah Wani. Dalam sebuah dialog terselip cerita ini. Inangkali berkata, "Memang benar demikian putriku. Kejadiannya bermula sejak puluhan tahun yang lalu, ketika kamu masih kecil. Ketika ayahmu pergi mencari papan perahu di Sampolawa, secara kebetulan dia berjumpa dengan Amantale sahabat lamanya. Sebelum berpisah, mereka telah mengikat janji untuk menjodohkanmu dengan Lantale putra tunggal Amantale....." Dialog ini diucapkan Inangkali ketika Wani ketahuan oleh Amangkali bahwa Wani sedang menjalin hubungan dengan La Domai. Seorang tokoh, Bibi mendukung alasan Inangkali sehingga menambah rumit kebebasan yang Wani perjuangkan. F.A Hayek dalam Raymond (1993: 81) mengungkapkan bahwa pada gilirinnya paksaan muncul apabila tindakan manusia tunduk pada kehendak orang lain yang berkuasa, bukan lahir dari kesadaran sendiri, melainkan dari rencana orang lain. Dalam drama ini, La Domai dan Wani telah saling menguasai sehingga pemikiran kebebasan itu muncul dan paksaan datang. Esensi paksaan adalah ancaman menimpakan hukuman orang lain jika Ia tidak tunduk kepada kehendak kita. Orang yang terkena paksaan kehilangan kemampuan untuk menggunakan kecerdasan memlih sarana dan tujuannya. Ia menjadi alat orang yang memaksakan kehendak kepadanya.

Paksaan terhadap perjuangan kebabasan juga terjadi pada drama Dilarang Kawin karya Iwan Djibran ini. Paksa yang merupakan ayah Drajat, tanpa penanyaan terlebih dahulu menjodohkan Drajat dengan seorang gadis pribumi bernama Dewi. Pemaksaan jodoh yang merumitkan tema kebebasan dalam drama ini didramatisasi sehalus mungkin, sehingga yang menjadi bukan pemaksaan jodoh tapi semacam “pemindahan jodoh”. Perumitan kebebasan oleh paksaan dalam drama ini tidak sekuat pada drama Bulan Yang Terbenam yang memiliki nada yang keras namun romantik. Begitu pun pada drama Bunga Rumah Makan, dimana esensi paksaannya hanya sebagai tambahan pada upaya pembebasan pada Tokoh Ani, bukan merupakan perumitan kebebasan tersebut. Tema kebebasan dalam drama-drama ini mengarahkan cara pandang kita terhadap suatu permasalahan bahwa “inilah permasalahan yang sebenarnya”. Permasalahan yang membawa kita pada ruang lingkup kedewasaan.

Simpulan dan saran
Simpulan

Diantara tiga drama yang dikaji, drama Bulan Muda Yang Terbenam karya La Ode Balawa inilah yang memiliki penyajian kuat untuk menampilkan tema kebebasan berpadu pada peristiwa, penulisan dengan gaya romantik, dan adegan yang realistik serta latar tempat yang spesifik, sesuai dengan landasan penulisannya yang menyajikan masalah sosial dan budaya yang dihadapi oleh tokoh-tokoh yang diciptakannya, terutama tokoh utama yang menyampaikan tema tersebut. Sedangkan drama Bunga Rumah Makan karya Utuy T. Sontani dan drama Dilarang Kawin karya Iwan Djibran mempunyai kecenderungan yang sama. Permasalah kebebasan yang bercabang-cabang membuat drama-drama ini semakin dewasa ditambah perumitan tema yang cukup mendalam menambah pengetahuan tentang masalah-masalah realistik yang terjadi di dalamnya. Ini merupakan tema yang luas dan sempit sehingga menyerahkannya kepada sang pembaca untuk menginterpretasikannya secara mendalam sesuai dengan poin yang disampikan dan tersebar dalam drama-drama tersebut.

Saran
Berdasarkan pada hasil kajian di atas, maka dapat penulis sarankan bahwa diadakan pengkajian lebih lanjut dan dalam ranah yang lebih luas mengenai tema kebebasan pada drama-drama ini atau pun pada drama-drama lain yang menganut tema yang sama yang belum sempat penulis kaji.

Daftar Pustaka
Adriand. (2009). Latar belakang timbulnya perpecahan antara cina dan pribumi di indonesia. (Online), (http://www.adriandw.com/cina, diakses 29 Juni 2010).
Aron, Raymond. 1993. Kebebasan dan Martabat Manusia. Terjemahan oleh Rahayu S. Hidayat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Damono, Djoko Sapardi. 2010. Drama Indonesia: beberapa catatan. Ciputat: Editium.
Murniah, Dad, ed. 2005. Antologi Drama Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar